22 Juli 2010

Serumpun? Indonesia adalah negara bangsa, bukan negara suku

Beberapa bulan yang lalu, ketika petugas DKP yang berusaha menangkap nelayan Malaysia kemudian justeru ditahan oleh polisi negara tetangga itu, petinggi negara kita menanggapi persoalan tersebut dengan menggunakan wacana “serumpun”. Maksudnya jelas, karena bangsa kita adalah bangsa yang berasal dari satu rumpun dengan orang Melayu yang notabene adalah penduduk asli Malaysia, maka kita tidak boleh bereaksi keras terhadap Malaysia. Apakah memang harus demikian dan apa konsekuensinya bila kita terlalu mengedepankan wacana “serumpun” semacam itu?


Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, pertama-tama mari kita tengok negara tetangga kita itu dahulu, berapa besar sebenarnya penduduk orang Melayu di sana. Menurut data 2004, penduduk Malaysia terdiri atas 50,4% orang Melayu, 23,7% orang Cina, 11% orang suku asli lainnya, 7,1 orang India, dan 7,8% orang dari suku-suku lain. Benar bahwa orang Melayu merupakan penduduk terbesar, tetapi jelas tidak benar bahwa bangsa Malaysia identik dengan orang Melayu, meskipun secara politik, orang Melayu memang memegang peranan yang sangat dominan di sana.

Lalu bagaimana dengan negara kita sendiri? Menurut data 2006, penduduk Indonesia terdiri atas 45% orang Jawa, 14% orang Sunda, 7,5% orang Madura, 7,5% orang Melayu, dan 26% selebihnya terdiri atas beragam suku. Ternyata orang Melayu hanya berjumlah 7,5% saja dari seluruh penduduk Indonesia. Tetapi mungkin para petinggi negara kita berpikir bahwa ada beberapa suku lain di Indonesia, selain orang Melayu, yang mempunyai nenek moyang yang sama dengan nenek moyang orang Melayu. Mungkin saja, tetapi bagaimana mengenai bukti-bukti historis yang menyatakan nenek moyang (sebagian besar) bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan (bukan Yunani) di perbatasan Cina dengan India? Entahlah, tetapi yang jelas, seharusnya para petinggi negara kita tidak boleh lupa (atau lupa karena tidak lagi ada penataran P4) -sama sekali tidak boleh lupa- bahwa ada di antara bangsa Indonesia yang berasal bahkan bukan dari ras yang sama, dalam hal ini ras Mengolid, melainkan dari ras Negroid (bukan Negro). Selain itu bangsa Indonesia juga terdiri atas orang Cina, orang Arab, orang India, dst., yang tentu saja tidak mempunyai nenek moyang yang sama dengan nenek moyang orang Melayu.

Mengatakan bangsa Indonesia sebagai bangsa serumpun dengan bangsa Malaysia, dengan demikian, bukan hanya keliru, tetapi menyakitkan bagi sebagian bangsa Indonesia. Apakah tidak pernah terbersit dalam benak para petinggi negara kita ketika mengatakan bangsa Indonesia serumpun dengan bangsa Malaysia, bagaimana kira-kira perasaan orang Papua, orang Alor, dan orang Timor yang merupakan rumpun ras Negroid (yang jelas tidak ada hubungannya dengan orang Melayu yang merupakan bagian dari ras Mongolid)? Lalu, pernahkah pula terbersit dalam kepala para petinggi negara kita bahwa ada orang Dayak, orang Manado, dan masih banyak lagi orang dari suku-suku lainnya yang sekalipun tergolong ras Mongolid sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai serumpun dengan orang Melayu? Jangan-jangan bukan tidak mungkin karena merasa eksistensinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia tidak diakui tersebut maka orang Papua memilih masuk OPM. Atau bukan pula tidak mungkin orang Timor Timur dahulu begitu ngotot ingin melepaskan diri dari Indonesia karena alasan yang sama.

Wacana serumpun yang dikumandangkan petinggi negara kita itu tentu saja sebenarnya tidak sesuai dengan kehendak bapak bangsa yang menginginkan negara Indonesia sebagai negara kebangsaan (nation state). Negara kebangsaan adalah sebuah negara yang tidak mempersoalkan asal-usul, melainkan lebih mengedepankan ideologi berbangsa. Dalam negara kebangsaan seharusnya tidak boleh ada suku yang menjadi sangat dominan, tidak ada istilah “putra daerah”, sebab semuanya adalah “anak bangsa”. Tetapi realitas tentu saja tidak selalu harus sama dengan cita-cita. Para pendiri bangsa semuanya sudah tiada, sedangkan yang ada sekarang adalah petinggi negara yang berwacana tentang “serumpun”, entah sadar entah tidak apa konsekuensinya. Dan karena mengikuti cara berpikir para petinggi negara tersebut maka tidak dapat disalahkan kalau para petinggi daerah pun kemudian menerjemahkan wacana serumpun tersebut ke dalam wacana “putra daerah”. Memang tidak ada salahnya, bila saja wacana “putra daerah” tersebut diikuti dengan prestasi. Tetapi bila itu hanya untuk kekuasaan dan kepentingan pribadi “rumpun” tertentu maka ceritanya akan menjadi lain.

Bagi kepentingan politik luar negeri, wacana “serumpun” juga bukannya tanpa bahaya. Malaysia akan menjadi semakin besar kepala, merasa menjadi saudara tua. Orang Melayu di sana, yang notabene adalah suku yang dominan dalam pemerintahan, akan menerjemahkan istilah “serumpun” yang diwacanakan oleh petinggi negara kita, menjadi pemikiran bahwa kalau begitu Malaysia adalah saudara tua Indonesia. Padahal sejatinya titaklah begitu, sebab tanpa dukungan politik yang diberikan oleh rezim Orde Baru kepada orang Melayu di sana dan tanpa bantuan pendidikan yang diberikan Indonesia, mungkin saja orang Melayu di Malaysia tidak sebagaimana orang Melayu di sana sekarang.

Bukan hanya itu saja, negara-negara tetangga kita yang lain pun akan mengartikan wacana “serumpun” tersebut sesuai dengan konteks kepentingan mqsing-masing. Selain berbagi pulau dengan Malaysia, negara kita juga berbagi pulau dengan Papua Nugini dan Timor Leste. Kita juga bertetangga dengan jarak yang dekat dengan Singapura, Filipina, dan Malaysia. Di antara semua negara tetangga kita itu, bukan tidak mungkin mempunyai orang-orang yang dahulu menjadi warga negaranya, tetapi kini tinggal menetap dan menjadi warga negara Indonesia. Para petinggi negara kita yang kalau berkunjung ke daerah selalu dengan pengawalan super ketat mungkin tidak tahu bahwa di Pulau Rote di belahan paling selatan negara kita, ada orang asal Australia yang sekarang menjadi warga negara Indonesia. Yang jelas, bolehlah para petinggi negara kita mengabaikan orang-orang yang menjadi warga negara melalui proses naturalisasi tersebut, tetapi seharusnya sedikit mampu berpikir dengan tenggang rasa, bagaimana misalnya kalau petinggi negara Australia mengatakan bahwa bangsa Australia adalah bangsa “serumpun” kulit putih sehingga tidak perlu peduli dengan Indonesia?

Oleh karena itu, wahai para petinggi negara, wahai para petinggi daerah, mohon disadari bahwa bangsa Indonesia tidak serumpun dengan bangsa manapun. Bangsa Indonesia disatukan menjadi bangsa karena ideologi, bukan karena hubungan serumpun dengan bangsa lain. Soal “serumpun” itu, yang benar adalah saudara kita orang Melayu yang serumpun dengan orang Melayu di Malaysia, bukan bangsa Indonesia serumpun dengan bangsa Malaysia. Tolong direnungkan, wahai para petinggi negara, wahai petinggi daerah, paradigma berpikir ‘serumpun” semacam ini hanya akan menjadikan bangsa Indonesia tidak akan mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, bangsa-bangsa yang disatukan oleh ideologi negara, dan bukannya kesatuan “serumpun” yang picik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar